NGO 'Gebrak' 595 Perusahaan Perusak Lingkungan 

Pekanbaru, Detak Indonesia--Sejumlah organisasi Non Goverment Organization (NGO) di Provinsi Riau terdiri dari Jikalahari, Eye on the Forest, Walhi, Fitra, dan lain-lain menyerukan ke Luar Negeri (LN) seperti Eropa dan Amerika Serikat, China, Arab Saudi, India untuk tidak membeli produk yang dihasilkan oleh 595 perusahaan di bidang kehutanan, perkebunan, dan pertambangan di Riau.

Hal ini disebabkan produk itu baik kelapa sawit, kayu, hasil tambang dan lain-lain diperoleh dari kawasan hutan yang non prosedural, berkonflik dengan masyarakat hukum adat, dan lain-lain.

Hal ini diegaskan Koordinator Jikalahari Made Ali di Pekanbaru, Selasa (7/8/2018). Menurut Made Ali surat resmi telah mereka layangkan ke sejumlah NGO di luar negeri. NGO luar negeri juga mengkampanyekan seruan boikot kepada konsumen. Biasanya konsumen di luar negeri sangat selektif dan tidak akan membeli produk bermasalah.

"Eropa dan Amerika Serikat sangat ketat tak mau sembarangan menerima produk Indonesia apalagi dari lokasi nonprosedural. Tapi China, India, dan Arab Saudi sangat kami sayangkan negara ini tidak taat hukum, masih saja mau menerima produk dari lokasi nonprosedural di Riau ini," kata Made Ali.

Seperti diberitakan sebelumnya empat Non-governmental organizations (Organisasi Lingkungan) di Riau, Jikalahari, Walhi, Elang ( Eye on the Forest), Fitra, melaporkan 595 perusahaan perkebunan sawit, Pertambangan dan Kehutanan di Riau ke Menkopolhukam dan negara-negara Eropa atas dugaan melakukan tindak pidana lingkungan. 

"Perusahaan perkebunan sawit yang beroperasi di Riau kami laporkan karena diduga tidak memiliki Analisis Mengenai Dampak Lingkungan (Amdal), tidak memiliki izin lingkungan serta melakukan praktik kejahatan perusakan lingkungan setelah izin Hak Guna Usaha (HGU) berakhir dan Izin Usaha Perkebunan (IUP-B) tidak dilanjutkan. Selain itu ada juga perusahaan perkebunan yang menampung CPO di luar HGU perusahaan dari area nonprosedural," ujarnya.

Menurut Made Ali, dari temuan tim koalisi di lapangan, hingga kini ada beberapa perusahaan masih melakukan aktivitas pembukaan lahan dan penanaman kelapa sawit, meskipun HGU sudah berakhir.

“Perusahaan diduga melakukan land clearing (pembersihan lahan baru) sementara izin HGU telah berakhir dan belum diperpanjang,” ujarnya.

Made juga menggelar konferensi pers Senin (6/8/2018) menyebutkan, beberapa perusahaan telah melanggar Undang-undang Nomor 18 Tahun 2013 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Perusakan Hutan, Peraturan Menteri Pertanian Republik Indonesia Nomor 98/Permentan/Ot.140/9/2013 tentang Pedoman Perizinan Usaha Perkebunan, Permen ATR/Ka BPN No 5 Tahun 2015 tentang izin Lokasi, serta peraturan dan perundang-undangan lainnya. 

"Itu alasan yang menjadi dasar pertimbangan kami untuk melaporkan perusahaan Kehutanan, Perkebunan dan Pertambangan ke Menkopolhukam dan melakukan kampanye ke negara negara Eropa, Amerika karena dugaan tindak pidana membuka lahan dan melakukan penanaman baru saat izin belum diperpanjang," kata Made.

Selain itu, kata Made, ada beberapa perusahaan juga tidak melaksanakan beberapa kewajibannya yang lain seperti membangun kebun plasma. Lalu persoalan dana corporate social responsibility (CSR) masih bermasalah dan bahkan tidak ditepati, serta tidak memprioritaskan tenaga kerja lokal.(azf)


Baca Juga